BHARABAS MEDIA, PEKANBARU -- Pernahkah kita benar-benar merenung bahwa energi, yang selama ini kita anggap sebatas angka dingin di lembar tagihan bulanan, kini tengah berubah menjadi kisah yang membentuk identitas, kebanggaan, bahkan loyalitas? Transisi menuju energi bersih tidak lagi sekadar jargon teknokratis. Ia telah menjelma menjadi panggung besar tempat perusahaan, negara, hingga konsumen menulis ulang perannya, bukan hanya sebagai pengguna, tetapi juga sebagai simbol kebersamaan dalam menjaga energi masa depan.
Michael Porter, sang kontributor besar dalam manajemen modern, melalui kerangka Competitive Advantage dan Five Forces Model, memberikan cara pandang yang relevan untuk membaca ulang lanskap energi hari ini. Jika dulu sektor energi seakan berdiri kokoh tanpa banyak gangguan, kini peta berubah drastis.
Pendatang baru bermunculan lewat startup energi terbarukan dan produsen panel surya. Raksasa energi fosil pun ramai-ramai beralih ke bisnis litium dan kobalt, sumber daya kunci bagi baterai masa depan. Konsumen modern mulai menuntut energi yang bukan sekadar murah, melainkan berkelanjutan.
Sementara itu, substitusi nyata hadir melalui panel surya atap, kendaraan listrik, hingga inovasi teknologi terbarukan lain yang semakin terjangkau. Singkatnya, persaingan energi kini bukan lagi linear, melainkan cair, dinamis, dan radikal.
Porter dengan tegas mengingatkan bahwa efisiensi saja tidak cukup. Cost leadership memang masih relevan untuk memenangkan pasar jangka pendek, tetapi perang harga hanyalah jebakan yang melelahkan. Strategi yang lebih visioner adalah diferensiasi.
Difrensiasi dalam hal in membangun energi yang tidak sekadar mengalirkan listrik atau panas, tetapi juga menyampaikan pesan moral dan emosional. Porter menekankan bahwa diferensiasi menciptakan keunggulan kompetitif yang sulit ditiru. Dalam konteks energi, diferensiasi itu berarti menghadirkan pasokan rendah emisi, transparan, beretika, sekaligus memberi rasa bangga. Energi bukan lagi sekadar bicara kilowatt atau nilai kalor, melainkan tentang cerita dan makna di balik setiap kilowatt yang digunakan.
Lewat Diamond Model, Porter juga menekankan bahwa daya saing sejati tidak hanya ditentukan di level perusahaan, tetapi juga di level nasional. Korea Selatan, misalnya, berani menargetkan pengurangan emisi 40% pada 2030 dan mewajibkan bangunan publik menghasilkan energi dari sumber terbarukan. Kebijakan ini bukan sekadar simbol, melainkan strategi untuk membangun daya saing jangka panjang. Faktor kondisi, permintaan domestik yang kritis, ekosistem industri pendukung, hingga persaingan sehat antarperusahaan, berpadu menciptakan keunggulan nasional yang tidak mudah ditandingi.
Lalu, bagaimana dengan energi kita? Sudah saatnya kita berpikir dengan logika yang sama. Mengukur energi tidak cukup hanya dengan tarif dan biaya, melainkan dengan makna dan kontribusinya terhadap ketahanan energi jangka panjang. Konsumen tidak lagi sekadar membayar, tetapi ingin merasa menjadi bagian dari solusi. Loyalitas masa depan tidak dibeli dengan diskon atau tarif murah, melainkan ditumbuhkan dari rasa percaya, rasa memiliki, dan rasa bangga.
Perusahaan energi yang mampu membangun narasi ini akan melampaui peran teknis sebagai penyedia pasokan. Mereka akan menjadi bagian dari identitas konsumen, hadir dalam pilihan emosional yang melekat lebih kuat daripada sekadar angka di tagihan.
Paradoksnya jelas energi yang dulu dingin, teknis, dan abstrak, kini justru hangat, emosional, dan sarat simbol. Dan di situlah letak tantangan sekaligus peluang besar bagi pelaku usaha dan pengguna akhir energi. Pada akhirnya, energi bukan lagi berbicara soal tarif, melainkan soal cerita yaitu sebuah narasi yang membuat kita bangga berkata: “Saya bagian dari perubahan.” ***
OPINI
Charly Simanullang
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Manajemen
Fakultas Eknomi dan Manajemen Bisnis
Universitas Riau
Komentar Anda :