BULETINSATU.com -- Hari Toilet Sedunia diperingati hari ini, Kamis (19/11), dengan tema Sustainable Sanitation and Climate Change. Bila diterjemahkan, tema ini dapat dipahami menjadi 'Sanitasi Aman Berkelanjutan Demi Ketahanan Iklim'.
Isu perubahan iklim memang akan terus menjadi topik penting bagi kelangsungan hidup. Hanya saja, perlu ada inisiatif untuk membuatnya terus diperbincangkan.
"Keduanya (sanitasi dan perubahan iklim) tampak tidak saling berhubungan tapi sebenarnya ada hubungannya. Pada 2050 perubahan iklim diperkirakan dampaknya cukup besar," kata Tri Dewi Virgiyanti, Direktur Perkotaan Perumahan dan Permukiman, Kedeputian Bidang Sarana dan Prasarana, Bappenas, dalam webinar bersama USAID IUWASH PLUS, Rabu (18/11).
"Kita mulai merasakan perubahan iklim, cuaca, kemudian beberapa bulan basah malah kering atau kebalikannya."
Tri kemudian menjelaskan bahwa perubahan iklim ini membawa tantangan dalam pembangunan infrastruktur terkait sanitasi. Banjir maupun kekeringan mempengaruhi kinerja layanan sanitasi maupun perilaku masyarakat.
Ia berkata, banjir di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) membuat IPLT tidak bisa beroperasi dengan baik, intrusi air laut mempengaruhi proses kinerja Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), banjir merusak toilet dan terjadi penyebaran tinja.
Tidak hanya banjir, kondisi kekeringan pun bisa mengganggu sanitasi karena sulit ketersediaan air untuk membilas dan flushing.
Di sisi lain, manusia bisa menghadapi perubahan iklim dimulai dari toilet aman.
Sebagaimana dikutip dari laman World Toilet Day, secara global, 80 persen air limbah yang dihasilkan masyarakat mengalir kembali ke ekosistem tanpa diolah atau digunakan kembali.
Air limbah dan lumpur toilet mengandung air, nutrisi, dan energi yang berharga. Sistem sanitasi berkelanjutan pun mengolah limbah secara produktif untuk meningkatkan pertanian dengan aman dan mengurangi serta menangkap emisi untuk energi yang lebih hijau.
Dari sini, bisa dipahami bahwa sanitasi aman tidak hanya menyoal kondisi bilik toilet di lingkungan Anda tetapi juga pengelolaan lumpur tinja dan air limbahnya. Tanpa pengelolaan yang baik, rencana menghadapi perubahan iklim hanya sekadar isapan jempol belaka.
"Masyarakat merasa toilet mereka sudah aman, tidak kotor, septic tank tidak bau, padahal belum tentu aman jika air limbah dan lumpur tinja belum terolah dengan baik," kata Tri.
Dalam kesempatan yang sama, Adri Ruslan, Senior Specialist On-Site Sanitation USAID IUWASH PLUS, menyebut masyarakat menilai toilet sehat dan aman hanya pada bangunan atas saja.
Padahal bangunan bawah alias tangki septik dan pengelolaannya juga harus diperhatikan. Toilet bakal terbilang aman jika berdampak baik ke lingkungan.
Tanpa disadari, kata Adri, rumah tangga dapat menjadi penghasil limbah dan berisiko mencemari lingkungan.
"Bayangkan rumah Anda tidak memiliki tangki septik yang sesuai standar, bakal ada miliaran bakteri merembes ke tanah dan mencemari sumber air," paparanya.
Pengelolaan Belum Optimal
Tidak hanya itu, Indonesia juga masih memiliki segudang pekerjaan rumah terkait infrastruktur pengelolaan limbah dan lumpur tinja.
Dari data yang diolah Bappenas, hingga 2019 hanya 196 kabupaten/kota yang memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik (IPALD). Kemudian hanya 255 kabupaten/kota yang memiliki IPLT.
Namun, tidak semua beroperasi optimal karena inisiatif masyarakat untuk menyedot tinja secara rutin juga rendah.
Tri menambahkan bahwa sebenarnya ada layanan sedot tinja dari swasta tetapi pengolahannya belum maksimal dan malah membuang lumpur tinja ke badan air semisal sungai.
Melihat kondisi ini, Kristin Darundiyah, Kasie Pengamanan Radiasi, Subdit Pengamanan Limbah dan Radiasi, Dit. Kesehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, berkata pola pikir masyarakat perlu diubah sehingga terus dilakukan upaya promosi dari pemerintah melalui Kemkes.
Bertepatan dengan Hari Toilet Sedunia, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan aspek buangan selain aspek asupan. Aspek buangan jangan sampai berkontribusi terhadap kontaminasi lingkungan. Toilet aman, lanjutnya, juga termasuk dasar kehidupan.
"Ada 250 ribu lebih kasus diare, malnutrisi, malaria, ini menunjukkan perlu intervensi lintas sektor untuk mengendalikan angka tersebut," kata Kristin
Senada dengan Kristin, Adri pun sepakat bahwa perlu peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya toilet yang aman.
Aman, lanjutnya, meliputi penggunaan tangki septik yang kedap udara, penyedotan rutin 2-3 tahun sekali, sekaligus perawatan secara berkala. Di lapangan, Adri mengaku masih menemukan akses toilet sudah dilengkapi tangki septik.
Hanya saja, persoalan ternyata juga timbul dari kalangan tukang yang mengerjakan tangki. Para tukang masih minim pengetahuan tangki septik standar sehingga peningkatan kesadaran masyarakat perlu diimbangi dengan pengetahuan para tukang sebelum pembangunan.
"Kami melakukan pelatihan ke tukang-tukang sekaligus melihat pembangunan selama ini seperti apa. Ada banyak yang belum paham cara membangunnya, apa yang harus dilengkapi," ujarnya. (CNI)
Komentar Anda :