BULETINSATU.com -- Pandemi Covid-19 mengubah gaya hidup sebagian besar masyarakat, termasuk dalam berolahraga. Beberapa yang belakangan cukup diminati dan menjadi tren yakni olahraga di luar ruangan seperti bersepeda dan lari.
Terlepas memiliki waktu yang lebih luang karena bekerja dari rumah, tapi pilihan terus berolahraga juga menjadi cara agar kesehatan tetap terjaga. Hanya saja, ada risiko yang tak disadari saat berolahraga di luar ruangan, yakni bahaya polusi udara.
Piotr Jakubowski, Co-founder & Chief Growth Officer Nafas, mengungkapkan bahwa berdasarkan data temuan dari pengukur kualitas udara yang tersebar di Jabodetabek, banyak lokasi yang sering kali memiliki tingkat PM2.5 yang telah melebihi 100 (ambang batas aman).
Melihat kondisi itu, Dokter Spesialis Paru Erlang Samoedro, kemudian memaparkan bahaya bagi kesehatan jika PM2.5 terhirup ke dalam tubuh.
PM2.5 merupakan polutan paling berbahaya jika terhirup di tubuh manusia. Apalagi, sekali berolahraga, tingkat pernapasan akan meningkat signifikan hingga 40-60 napas per menit, berbeda dengan aktivitas normal yang hanya mengambil napas 15 kali per menit.
Menurut Erlang, PM2.5 merupakan partikel debu yang sangat kecil, bahkan lebih kecil dari rambut sehingga ketika masuk ke ke saluran nafas bisa sampai ke alveol atau ujung paru.
"Debu-debu ini ada sistem untuk mengeluarkannya, tapi kalau dalam jumlah banyak, sistem pengeluaran tubuh tidak sebanding dengan udara yang masuk. Akibatnya, bisa terjadi penumpukan," katanya dalam acara webinar pada Selasa (17/11).
Penumpukan PM2.5 itu yang lantas diungkapkan Erlang bisa memicu peradangan lokal di paru, serta menyebabkan asma dan penyakit pernafasan lain kambuh.
"Karena dia sangat kecil sekali, ketika masuk ke paru berdifusi ke pembuluh darah. Dan ketika sudah masuk ke pembuluh darah akan beredar ke seluruh tubuh. Itu bisa menimbulkan serangan-serangan yang terkait pembuluh darah seperti serangan jantung dan stroke," papar Erlang.
Bahkan, lanjut Erlang, jika penumpukan PM2.5 berlangsung terus menerus dalam jangka panjang, itu dapat memicu kanker paru.
Bahaya polusi udara ini sendiri sempat dialami oleh atlet lari Adinda Sukardi beberapa tahun silam.
Adinda mengungkapkan bahwa dirinya mengalami masalah pernafasan setelah lari pagi sejauh 4 kilometer di Shanghai, China.
"Saat itu sedang musim dingin, dan langit terlihat abu-abu. Saya pikir bukan karena polusi, tapi karena cuaca dingin saja," tutur Adinda.
Sebelum lari, Adinda merasa tubuhnya dalam kondisi sehat dan dapat berlari dengan cepat. Namun, beberapa waktu setelah lari, ia didiagnosis memiliki asma.
"Hari itu akhirnya membuka mata saya, bahwa penting untuk memastikan kualitas udara yang kita hirup dari keseharian kita. Karena buat saya, hal itu berdampak sangat besar. Selama dua tahun perfoma saya menurun sebagai atlet lari," katanya.
Sejak itu, Adinda mengaku rajin untuk memeriksa kualitas udara lebih dulu sebelum berolahraga di luar ruangan. Jika tidak aman, ia memilih untuk mengubah kegiatan berolahraga menjadi di dalam ruangan. (CNI)
Komentar Anda :