BHARABAS MEDIA, PEKANBARU -- Ada masa ketika radio adalah raja yang tak tergantikan. Suara penyiar adalah teman perjalanan, pemecah sepi, dan pengantar cerita-cerita kecil di tengah hidup yang sibuk. Frekuensi adalah ruang publik yang hidup—tempat orang tertawa, mengeluh, saling menyapa, atau sekadar numpang lewat di udara. Radio tidak pernah meminta banyak; ia cukup menjadi suara yang dekat.
Tetapi dunia tak pernah menunggu yang lambat. Dan hari ini, kita melihat kenyataan yang sulit diabaikan: beberapa radio besar mulai meredup, sebagian berhenti mengudara, sebagian lain hanya mempertahankan nyala kecilnya agar tidak padam sepenuhnya. Tidak ada pengumuman besar, tidak ada upacara perpisahan. Ia terjadi diam-diam, senyap, perlahan, seperti lampu neon tua yang mulai berkedip.
Fenomena ini bukan sekadar “tantangan digital”. Bukan sekadar “persaingan platform”. Bukan sekadar “anak muda tidak dengar radio lagi”. Itu narasi malas. Yang sebenarnya terjadi jauh lebih dalam: sebuah industri yang gagal membaca perubahan, salah menempatkan harapan, dan terlalu lama berdiri di atas fondasi nostalgia.
Ini adalah refleksi untuk seluruh dunia radio — agar tidak ikut terjerembap ke dalam lubang yang sama.
1. Ketika yang besar merasa aman, justru di sanalah bahaya mengintai
Dalam satu dekade terakhir, banyak holding radio nasional tumbuh dengan keyakinan bahwa merek besar akan selalu punya tempat. Keyakinan bahwa reputasi masa lalu adalah jaminan masa depan. Dalam banyak rapat, sering terdengar kalimat-kalimat seperti:
“Kita besar, kita kuat.” “Pasar kita jelas.” “Pendengar kita loyal.” “Digital itu tambahan, bukan inti.”
Tetapi kenyataan tidak berjalan sebaik doa.
Ketika industri berubah, ukuran justru menjadi beban. Struktur besar membuat gerak lambat. Keputusan harus melewati banyak meja. Eksekusi butuh waktu berlapis. Sementara perilaku pendengar berubah setiap bulan bahkan setiap minggu.
Yang kecil justru bergerak seperti start-up: lincah, cepat, improvisatif. Yang besar bergerak seperti birokrasi: teratur, tapi lambat; rapi, tapi kaku.
Perubahan tidak pernah memberi ruang untuk yang lambat.
2. Manajemen yang bukan dari dunia radio: keputusan yang tidak berpijak pada bumi
Salah satu titik kritis yang jarang dibahas secara terbuka adalah pergantian generasi manajemen di beberapa grup media besar. Banyak perusahaan radio yang kini dipimpin orang-orang yang tidak lahir dari ekosistem radio. Mereka mungkin ahli korporasi, ahli finansial, atau ahli digital tapi bukan ahli audio.
Di sinilah jurang mulai terbentuk.
Kebijakan dibuat bukan berdasarkan intuisi siaran, bukan berdasarkan kedekatan dengan pendengar, bukan berdasarkan insting programing. Banyak stasiun diarahkan seperti mengelola website, newsroom, atau lini bisnis lain yang sifatnya transaksional.
Padahal radio adalah bisnis emosi, kedekatan, dan ritme harian. Audio bukan grafik. Audio bukan spreadsheet. Audio bukan KPI kuartalan. Audio adalah seni yang membutuhkan kepekaan bukan hanya logika manajemen.
Ketika intuisi hilang dari meja rapat, arah radio mulai kabur.
3. Digitalisasi yang hanya memindahkan, bukan mengubah
Banyak stasiun radio menganggap digitalisasi sebagai “mengupload podcast”, “membuat akun Instagram”, “pasang kamera di studio”, atau “bikin live streaming”.
Itu bukan digitalisasi. Itu *dekorasi.*
Digitalisasi yang sesungguhnya mengubah cara kerja, bukan hanya platform distribusinya:
Alur produksi konten harus berubah.
Peran penyiar harus berkembang menjadi kreator.
Program harus punya turunan: audio ? video pendek ? clip ? artikel ? live interaction.
Sales harus menjual solusi lintas platform, bukan spot.
Tim harus cross-functional, bukan silo-silo lama.
Tanpa perubahan fundamental ini, digital hanyalah topeng.
Dan topeng tidak pernah menyelamatkan siapa pun.
4. Radio kecil selamat bukan karena ajaib melainkan karena realis
Menariknya, justru radio lokal yang bertahan paling lama. Mereka tidak punya gedung megah, mereka tidak punya payroll besar, mereka tidak punya teknologi premium.
Tapi mereka punya satu hal: realita sehari-hari.
Radio kecil mendengar audiensnya sendiri. Mereka hidup dari komunitasnya. Mereka tahu kapan pendengarnya berubah. Mereka tahu siapa yang harus diajak bicara. Mereka merasa sakit lebih cepat ketika iklan turun dan karena itu mereka bergerak lebih cepat.
Ketika holding besar masih menggodok “rencana transformasi” di PowerPoint, radio kecil sudah:
- mengganti format,
- merombak penyiar,
- pindah ke studio kecil,
- membuat konten video harian,
- bekerja sama dengan UMKM,
- mengadakan event komunitas,
- dan menemukan pola monetisasi baru.
Radio kecil tidak menunggu izin. Radio kecil tidak menunggu perubahan struktural. Radio kecil tidak menunggu rapat bulanan.
Radio kecil hidup karena mereka tidak punya pilihan lain selain bertahan.
5. Cabang-cabang daerah: korban pertama dari strategi yang salah arah
Salah satu fenomena paling menyedihkan adalah kematian perlahan cabang-cabang radio di berbagai kota. Banyak dari mereka diminta menjalankan siaran seragam, program seragam, konten seragam, dan keputusan seragam meski realitas tiap kota sangat berbeda.
Pendengar di kota besar tidak sama dengan pendengar di kota kecil. Ritme hidup berbeda. Bahasa berbeda. Iklan lokal berbeda. Tetapi program yang mereka terima seringkali copy-paste dari pusat.
Hasilnya jelas: pendengar pergi pelan-pelan.
Ketika regulator mulai menemukan frekuensi yang tidak aktif atau hanya setengah beroperasi, itu bukan sekadar “penurunan performa”. Itu alarm keras bagi industri.
Tapi sayangnya, alarm hanya terdengar oleh mereka yang mau mendengarnya.
6. Akar masalah: cara lama menjalankan sesuatu di zaman yang tidak sabar
Ini inti dari semuanya:
Radio tidak tumbang karena digital. Radio tumbang karena pola pikir yang tidak berubah.
Industri ini terlalu lama berjalan seperti masa di mana radio adalah satu-satunya suara yang hidup. Padahal kini, jutaan suara muncul setiap detik dari jutaan kreator.
Pendengar tidak lagi hanya mendengar. Mereka memilih.
Dan pilihan itu brutal.
Siaran yang tidak relevan akan ditinggalkan dalam hitungan menit. Program yang terlalu panjang akan dilewati. Iklan yang tidak sinkron dengan minat pendengar akan di-skip.
Dunia audio hari ini tidak memberi ruang bagi kemalasan inovasi.
7. Masa depan radio hanya punya dua jalur: berubah besar, atau menghilang perlahan
Kalau industri ingin selamat, radio harus berhenti hidup sebagai “stasiun siaran” dan mulai hidup sebagai rumah produksi konten *audio-visual.*
Radio harus menjadi ekosistem, bukan hanya frekuensi.
Radio harus bergerak ke arah:
modul konten hybrid,
distribusi multiplatform,
komunitas pendengar yang aktif,
monetisasi event & membership,
produksi B2B (konten untuk brand),
pemangkasan struktur besar yang tidak relevan,
penguatan inti lokal yang menjadi pembeda.
Tidak semua radio perlu jadi besar. Tidak semua radio perlu digital penuh. Tapi semua radio perlu menjadi relevan.
Relevansi tidak bisa dibeli. Relevansi tidak bisa diwariskan. Relevansi harus dibangun setiap hari.
8. Refleksi ini bukan kritik ini cermin
Artikel ini bukan ditujukan untuk menyalahkan. Bukan untuk membuka aib siapa pun. Bukan untuk membandingkan yang besar dengan yang kecil.
Ini adalah cermin.
Karena industri yang tidak bercermin akan mengulang kesalahan yang sama. Dan industri radio tidak berhak mengulang tragedi ini jika masih ingin hidup.
Radio masih punya daya. Masih punya ruang. Masih punya keindahan yang tidak tergantikan oleh algoritma. Tapi hanya jika radio memilih untuk hidup dengan cara baru.
Bukan dengan cara lama yang sudah tidak didengar dunia.
"Jangan menunggu bom waktu itu meledak dihadapan kita".
Profil Singkat
Ekkydirgantara :
Praktisi media berpengalaman dengan lebih dari 30 tahun kiprah di dunia penyiaran, jurnalistik, dan manajemen media. Berawal sebagai penyiar radio, kemudian berkarier di Kompas Gramedia Group sebagai wartawan hingga manajemen pengembangan media baru (radio, televisi, dan digital). Saat ini berfokus sebagai konsultan media dan komunikasi strategis untuk berbagai radio dan platform daring di Jawa Timur.
Berorientasi pada inovasi, storytelling, dan transformasi media konvergensi.
Komentar Anda :