JAKARTA -- Isu keperawanan kembali jadi polemik setelah atlet senam, Shalfa Avrila Siani dicoret dari Pelatnas SEA Games 2019.
Melalui kuasa hukum Imam Muklas, pihak keluarga menyatakan bahwa Shalfa dikeluarkan dari Pelatnas dan tak bisa ikut bertanding di Filipina lantaran dituding tak perawan.
"(Pada) 13 November kemarin, orang tua Shalfa ditelepon oleh pelatihnya, namanya Irma, untuk menjemput Shalfa [Pelatnas SEA Games] di Gresik, alasannya dia dituduh tidak virgin [perawan], namanya orang tua pasti kaget," kata Imam, kepada CNNIndonesia.com, Jumat (29/11).
Menanggapi tudingan itu, lanjut Imam, pihak keluarga telah melakukan visum di RS Bhayangkara, Kediri, Jawa Timur.
"Tanggal 20 November, divisum di RS Bhayangkara hasilnya selaput darah dia masih utuh. Setelah keluarga mendapatkan hasil visum itu kemudian keluarga menyampaikan melalui WA kepada pelatih, pelatih meragukan, minta tes ke dua kali di RS Gresik, ini yang menjadi pertanyaan kami," kata Imam.
Imam merasa hal itu cukup janggal. Ia menilai pelatih harusnya mengantongi hasil pemeriksaan medis sebelum mengklaim kalau Shalfa tak lagi perawan. Namun saat pemulangan Shalfa, tim pelatih tak menyerahkan surat keterangan atau hasil tim medis apapun.
Demi mencari keadilan untuk Shalfa, pihak keluarga pun langsung melayangkan surat laporan ke Presiden Joko Widodo, Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), dan KONI.
Menanggapi kabar ini, Pengurus Besar Persatuan Senam Indonesia (PB Persani) memastikan pencoretan Shalfa ke SEA Games 2019 tak berkaitan dengan masalah keperawanan, melainkan penurunan prestasi yang dialami atlet asal Kota Kediri tersebut.
Persani berjanji akan menjatuhkan sanksi kepada pelatih jika terbukti benar menuding salah satu atletnya tidak perawan sehingga dicoret dari pelatnas SEA Games 2019.
Menurut aktivis perempuan dan konsultan gender Tunggal Pawestri, membesarnya polemik seputar masalah keperawanan di masyarakat karena masyarakat Indonesia dan negara masih percaya pada mitos.
"Kenapa ini masih jadi masalah besar? Ya, karena masyarakat dan bahkan institusi negara masih memelihara mitos," kata Tunggal kepada CNNIndonesia.com, Jumat (29/11).
Mitos yang dimaksud adalah mitos yang menganggap perempuan yang belum menikah tapi tidak perawan dianggap sebagai perempuan yang kotor dan tidak suci. Sampai-sampai dianggap tidak layak berprestasi.
Menurut Tunggal, konsep tes keperawanan dalam institusi baik olahraga maupun institusi lainnya, merupakan konsep yang absurd dan tidak masuk akal. Dia menilai tidak ada hubungan antara keperawanan dengan kualitas maupun kinerja seseorang.
Selain kasus Shalfa, keperawanan masih jadi masalah karena institusi militer disebut masih memberlakukan tes keperawanan.
"Tidak ada gunanya sama sekali. Mereka secara vulgar mempertontonkan invasi wilayah privasi yang semestinya sudah enggak ada lagi. Primitif," kata Tunggal.
Untuk menghilangkan mitos dan stigma tersebut, Tunggal menilai perlu adanya pendidikan khusus tentang kesehatan reproduksi.
"Agar masyarakat luas tahu bahwa nilai seorang perempuan tidak bisa diukur dari hymen-nya. Dan tentu saja negara mesti hapuskan tes keperawanan yang masih dilakukan, karena tes itu tak dapat buktikan apapun," ucap Tunggal.
Hymen atau selaput dara adalah membran tipis yang menutupi mulut vagina. Hymen yang robek kerap dijadikan tanda kalau wanita tak lagi perawan. (CNI)
Komentar Anda :