JAKARTA -- Menko Polhukam Mahfud MD mempersilakan kepada siapa saja yang keberatan dengan keberadaan Omnibus Law RUU Cipta Kerja untuk berdebat pada saat pembahasan di DPR. Sejauh ini, kalangan pers, buruh, aktivis lingkungan dan kepala daerah keberatan dengan proses dan RUU Omnibus Law.
"Kalau beda pendapat diperdebatkan di DPR," kata dia di Gedung Kemenko Polhukam, Selasa (18/2).
Mahfud mengatakan ketidaksetujuan atas RUU yang dituding menyengsarakan rakyat hanya soal perbedaan pendapat. Karenanya, alangkah lebih baik jika aspirasi disampaikan saat RUU dibahas di DPR.
"Kalau yang dianggap bermasalah itu soal beda pendapat, soal aspirasi," kata Mahfud.
Mahfud yakin tak banyak hal yang salah yang ada di RUU tersebut. Misalnya, persoalan salah ketik pun hanya ada di Pasal 170 saja.
"Ndak ada banyak. Cuman satu. Kalau yang salah ketik itu hanya satu kan," kata dia.
Menurut dia, semua hal yang berkaitan dengan RUU ini memang masih bisa diperbaiki. RUU ini belum final dan tak akan langsung bisa diterapkan hingga pembahasan selesai dan palu diketok di meja dewan.
"Jadi silakan masyarakat yang melihat ada perlu perbaikan, baik karena tidak sependapat maupun karena dianggap keliru sampaikan di sana, DPR punya forum untuk memperbaiki itu," kata dia.
Sejumlah pasal yang tertuang dalam RUU Cipta Kerja dianggap bermasalah dan tak berpihak pada rakyat hingga lingkungan.
Misalnya, jerat kurungan yang tak lagi mengancam perusak lingkungan. Omnibus Law juga dituding menghapus upah minimun buruh. Tak hanya itu, Omnibus Law juga membuat peran pemerintah daerah terpangkas saat berhadapan dengan izin perusahaan.
Beberapa waktu lalu, Ahli Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti tak menampik Omnibus Law berpotensi menciptakan sejumlah ekses negatif dan mengkhawatirkan bagi demokrasi di Indonesia. Salah satunya, kata dia, RUU 'Cilaka' berpotensi menciptakan kroni-kroni baru di pemerintahan Jokowi seperti yang terjadi pada era presiden ke-2 RI Soeharto.
"Ini yang menjadi kekhawatiran, jangan-jangan nanti akan terbentuk itu kroni-kroni seperti zaman Soeharto," kata Bivitri di Jakarta, Kamis (30/1). (CNI)
Komentar Anda :